SIPER CURAHNONGKO


SENGKETA TANAH CURAHNONGKO
Maret 28, 2012, 4:26 am
Filed under: Uncategorized

Desa Curahnongko terletak di sebelah selatan Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember. Perampasan tanah oleh pihak PTP XXVI pada tahun 1965-1966 sangat berpengaruh terhadap beberapa aspek desa tersebut, misalnya: Aspek geografis Ditinjau dari aspek geograf…is, Desa Curahnongko merupakan desa yang terisolasi, jauh dari desa tetangga.

Desa Curahnongko diapit oleh hutan dan perkebunan yang batas-batasnya sebagai berikut: – selatan : Hutan Merubetiri – barat : Tanaman Karet PTPN XII – utara : Tanaman Karet PTPN XII – timur : Hutan Merubetiri Jarak Desa Curahnongko ke Kabupaten Jember sangat jauh ( 40 km) dengan waktu tempuh 2 jam perjalanan jika menggunakan kendaraan pribadi, tetapi jika menggunakan jasa angkutan umum bisa lebih dari waktu tempuh tersebut karena sulitnya sarana transportasi dan kondisi jalan yang memprihatinkan.

Jika hendak ke Desa Curahnongko kita hanya bisa menikmati jalanan beraspal hanya sampai di Desa Wonoasri selebihnya jalanan yang becek saat musim penghujan dan berdebu tebal di musim kemarau panjang. Aspek sosial Aspek sosial yang nota bene dengan kaum buruh tani meliputi :
• Kekurangan tempat untuk pemukiman dan untuk lahan pertanian karena terjadi pengambil alihan secara paksa oleh PTPN XXVI waktu itu, sekarang berubah menjadi PTPN XII.
• Terjadinya kesenjangan sosial/buruh tani yang numpang karang.
• Urbanisasi besar-besaran pemuda desa karena di desa kurang lapangan pekerjaan.
• Menjadi buruh PTP dengan gaji pas-pasan (hanya cukup untuk dimakan).
• Terjadi penjarahan hutan. Banyaknya warga Curah Nongko yang menjadi TKI di luar negeri sebagai pekerja kasar.

Hal ini dapat menjatuhkan martabat bangsa Indonesia jika dilihat dari berbagai aspek yang mencolok tersebut desa Curahnongko kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Masa Pendudukan Jepang Wilayah Indonesia diduduki oleh Jepang sekitar bulan Maret 1942, dan tahun-tahun tersebut pemerintah Jepang menyuruh masyarakat Curahnongko untuk membuka lahan pertanian.

Lahan yang tadinya berupa hutan belukar tersebut ditanami berbagai tanaman yang merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini sesuai dengan surat laporan pemakaian tanah poin 5 dan 6. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Selang dua hari bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945. Berkaitan dengan status tanah Curahnongko tersebut tanggal 14 April 1958 pemerintah mengeluarkan surat laporan pemakaian tanah.

Ini dibuktikan dengan terpakainya tanah tersebut oleh masyarakat. Namun pada tahun 1966 tanah tersebut oleh PTP XXVI (sekarang PTPN XII) dengan dalih atas nama pemerintah mengambil alih secara paksa yang tentunya sangat merugikan rakyat. Penuturan Para Pelaku Sejarah Area tanah yang berlokasi di desa Curahnongko, kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur yang saat ini dikuasai oleh PTPN XII pada awalnya hutan belantara.

Pada tahun 1942, saat pendudukan Jepang hutan belantara tersebut dibuka untuk perumahan dan pertanian atas nama pemerintahan Jepang. Maka sejak itu lahan yang baru dibuka tersebut menjadi milik rakyat/dikuasai oleh rakyat, sebagai lahan pertanian dan menyusul kemudian sebagai tempat pemukiman lengkap dengan tempat ibadah berupa masjid dan musholla. Tanah tesebut dikuasai oleh rakyat sejak tahun 1942 hingga tahun 1966 (24 tahun).

Pada tahun 1966 datanglah PTP XXVI mengambil alih tanah tersebut secara paksa. Penduduk diintimidasi bahkan 22 orang sempat diborgol tangannya dan dibawa ke Glantangan atas nama pemerintah Administrator PTP XXVI (P. Margo) karena mereka berusaha mempertahankan tanahnya. PTP XXVI akan membunuh penduduk dan menganggap PKI jika mereka tidak melepaskan tanahnya.

Dalam usaha pemaksaan tersebut terlibat pula Kades dan Sekdes Curahnongko pada saat itu (1966). Sehingga sejak tahun 1966 PTP XXVI berhasil menguasai tanah tersebut sampai sekarang. Sebelum kekuasaan tersebut diambil alih oleh PTP XXVI, penduduk sebagian besar telah melaporkan penggunaan tanah tersebut, memenuhi pengumuman Penguasa Perang Daerah Jawa Timur No.Peng.P.2.8/1958 tanggal 13 Oktober 1958. Berdasarkan peraturan Penguasaan Perang Pusat No.Prt/Peperpu/011/1958 pengambilalihan pihak PTP XXVI tidak ada ganti rugi.

PTP XXVI sekarang berubah menjadi PTPN XII. Curahnongko terletak di Kecamatan Tempurejo-Kabupaten Jember awalnya merupakan daerah hutan belantara yang baru mulai dibuka oleh masyarakat atas perintah tentara Jepang pada masa pendudukannya atas wilayah Indonesia sekitar tahun 1942 yang selanjutnya masyarakat menanami tanah-tanah hasil pembukaan hutan tersebut. Karenanya sejak pembukaan hutan tersebut, areal yang semula hutan itu kemudian berubah menjadi areal pertanian yang selanjutnya mulai dibangun pemukiman penduduk dan beberapa fasilitas umum lainnya seperti tempat ibadah (=Masjid).

Desa Curahnongko terletak di Kecamatan Tempurejo-Kabupaten Dati II Jember awalnya merupakan daerah hutan belantara yang baru mulai dibuka oleh masyarakat atas perintah tentara Jepang pada masa pendudukannya atas wilayah Indonesia sekitar tahun 1942 yang selanjutnya masyarakat menanami tanah-tanah hasil pembukaan hutan tersebut.

Karenanya sejak pembukaan hutan tersebut, areal yang semula hutan itu kemudian berubah menjadi areal pertanian yang selanjutnya mulai dibangun pemukiman penduduk dan beberapa fasilitas umum lainnya seperti tempat ibadah (=Masjid). Ketika tentara Jepang harus menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, tanah-tanah yang mulai dibuka tersebut secara sendirinya selanjutnya dikuasai oleh warga masyarakat Curahnongko hingga Indonesia merdeka.

Pada tanggal 23 Januari 1959, memenuhi pengumuman Darurat Perang Daerah Jawa Timur No. Peng. P 2-8/1958 tgl 13-10-1958 berdasarkan peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/011/1958 tgl 14-4-1958 dikeluarkanlah Surat laporan pemakaian tanah tanpa ijin pemiliknya atau kuasanya atas penguasaan masyarakat terhadap tanah aquo. Sejak dibentuknya UUPA 24 September 1960 Jo 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, terjadi pendataan ulang dan pendaftaran penguasaan dan pemakaian masyarakat atas tanah secara adat sedang terhadap tanah-tanah bekas penjajah (Belanda maupun Jepang) yang berdasarkan hukum barat (BW=Burgelijke wet book) haruslah didaftarkan kembali untuk memohon hak kepemilikannya dan bagi yang tidak didaftarkan, terjadi nasionalisasi dengan dinyatakan sebagai tanah Negara.

Masyarakat Curahnongko yang relatif tidak memahami terhadap kebijakan pendaftaran tanah sejak berlakunya UUPA tersebut diatas, tidak pernah melakukan upaya pendaftaran dan permohonan kembali guna pengesahan atas penguasaan dan kepemilikan atas tanah-tanah aquo.

Pada sekitar tahun 1966, ketika masih situasi perpolitikan nasional baru terjadi gerakan G 30 S/PKI-1965, PTP XXVI yang selanjutnya saat ini berubah menjadi PT. Perkebunan Nusantara XII (= PTPN XII) dengan mengatasnamakan pemerintah dengan cara-cara kasar telah mengambil alih penguasaan masyarakat Curahnongko atas tanah-tanah aquo, dan bagi mereka yang menolak untuk menyerahkan tanahnya selanjutnya di cap sebagai PKI (=pembangkang bagi pemerintah) yang dengan alasan tersebut PTPN XII memborgol sekitar 22 orang warga dibawa kehadapan Administrator PTP XXVI saat itu dan mengancam membunuh masyarakat yang masih tidak mau menyerahkan tanahnya, hingga akhirnya masyarakat menyerahkan dengan kedaan terpaksa penguasaannya atas tanah aquo kepada PTPN XII, yang kemudian bangunan-bangunan pemukiman tempat tinggal penduduk yang telah dibangun beserta fasilitas lainnya digusur kecuali bangunan masjid yang masih disisakan (secara nyata hal tersebut merupakan bangunan yang dapat membuktikan kebenaran sejarah tersebut diatas) dan selanjutnya PTPN XII menanami areal tersebut dengan tanaman karet hingga tahun 1998.

Namun ternyata pada tahun 1982 penguasaan PTPN XII tersebut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH I Jawa timur No. DA/C.2.II/Sk/01/PR/1983 tertanggal 5 Maret 1983, atas tanah-tanah aquo dilepaskan dengan diberikan atas tanah seluas sekitar 25 Ha kepada sekitar 116 KK masyarakat Curahnongko sebagaimana selanjutnya tanggal 13 September 1983 diterbitkan sertifikat Hak Milik atas tanah yang diantaranya SHM No. 68, 91, 92, 93, 101, dilepaskan dari status tanah semula yakni tanah negara bekas hak erfpacht Verponding No. 4267 (seb) klas : D II. Sedangkan penguasaan PTPN XII atas tanah-tanah sebagian besar yang lain.

Selanjutnya, sejak 29-11-1986 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK. 64/HGU/DA/86, PTPNXII disyahkan sebagai pemegang Hak Guna Usaha seluas sekitar 2. 709, 49 Ha atas tanah-tanah bekas hak Erpacht No. 1161, 1162, 1163, 1164, 1165, 1385, 4155, 4267, 4268, 4269, 4363 dan 4626 yang meliputi sebagian diantaranya adalah tanah-tanah aquo.

Diawali sejak pertengahan tahun 1996 kondisi perekonomian dilanda krisis yang sangat memukul sendi-sendi perekonomian seluruh bangsa, tidak terkecuali warga desa Curahnongko, himpitan kebutuhan hidup saja sudah sangat berat, mengingat banyak warga yang selama ini hanya menjadi pekerja penggarap, dihadapkan pada kebutuhan di atas, mengakibatkan warga diharuskan mencari penghasilan lain dari yang selama ia dapatkan yang tentunya hal tersebut tidak lepas dari dasar penghidupan yang selama ini telah ditekuninya yakni bertani.

Karenanya guna memenuhi kebutuhan lahan untuk pertanian tersebut, warga masyarakat didasari sejarah dari para tokoh masyarakat membangkitkan pula keberanian masyarakat desa Curahnongko ( 553 KK) untuk menuntut kembali penguasaannya atas tanah-tanah aquo, yang semula memang adalah dalam penguasaan masyarakat desa Curahnongko tersebut, karena dimulai sekitar pertengahan Agustus hingga September 1998, masyarakat selanjutnya menanaminya dengan tanaman pertanian untuk kebutuhan sehari-hari (padi dan jagung) yang hingga saat ini telah berhasil panen hampir yang ke tiga kalinya.

Berdasar pada pasal 17 (3) UUPA yang menyatakan: “Tanah-tanah yang melebihi batas maksimum …untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.” Mengingat dasar yuridis diatas pada tanggal 28 September 1998 selanjutnya warga masyarakat Curahnongko, mengajukan permohonan pemberian Hak Milik atas tanah-tanah aquo, yang diajukan kepada Menteri Agraria/Kepala BPN pusat di Jakarta, yang permohonan diatas pula, untuk selanjutnya dikuatkan dengan diwakilinya permohonan tersebut oleh Camat Tempurejo yaitu Drs. Gatot Harsono sebagaimana surat permohonan hak milik tanah desa Curahnongko No. 593.4/656/436.544/1998 tertanggal 28 September 1998.

Menanggapi permohonan warga tersebut, pihak BPN Pusat melalui Surat No. 500-05-365 menyampaikan bahwa guna menyelesaikan permohonan warga tersebut diatas pihak BPN telah menginstruksikan agar dibentuk suatu Tim Inven-tarisasi yang beranggotakan Bupati KDH Tingkat II, Kepala Kantor Pertanahan Daerah II (Kepala BPN II), Camat, Kepala Desa serta pihak PTPN XII, hal mana atas pembentukan Tim Inventarisasi tersebut telah menyatakan keberatannya sebagaimana surat tertanggal 7 Mei 1999 ditandatangani oleh Mohammad Juma’in.

Pembentukan Tim Inventarisasi diatas, sungguh-sungguh tak dapat lagi dipertahankan mengingat pembentukan Tim Inventarisasi tersebut yang tidak mengikut sertakan perwakilan warga (= tokoh masyarakat) sebagaimana pihak pemohon dan/atau setidaknya sebagai pihak yang secara langsung mengetahui sejarah/asal usul tanah adalah penyelesaian yang tidak mencari kebenaran materiil sebagaimana diharapkan, karenanya secara otomatis sulit diharapkan memenuhi nilai-nilai keadilan dari pihak-pihak yang berkepentingan, karenanya warga para pemohon telah menyatakan keberatannya atas pembentukan Tim Inventarisasi tersebut secara sepihak tanpa melibatkan warga sebagaimana surat tertanggal 7 Mei 1999 ditandatangani oleh Mohammad Juma’in.

Meskipun demikian, sejauh ini hingga jangka waktu sekitar 5 bulan ini (sejak sekitar April 1999) Tim Inventarisasi yang telah diberi kewenangan untuk mencari kejelasan tentang status dan asal usul (sejarah tanah aquo) hingga saat ini tidak sedikitpun memberikan hasil dan titik terang sebagaimana diharapkan atas pemberian kewenangan tersebut.

Berdasarkan pasal 19 UUPA berkenaan tentang signifikasi dan manfaat dari pendaftaran hak atas tanah, dan PP. No. 10 tahun 1961 Jo PP. No. 24 tahun 1997 tentang “Pendaftaran Hak Atas Tanah” menyatakan bahwa demi kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah maka dilakukanlah sebuah pendaftaran kepemilikan hak atas tanah. Bahwa di lain pihak surat keputusan tentang pemberian HGU kepada PTPN XII sebagaimana pada point 8 diatas, ternyata secara yuridis terdapat kesalahan yang mendasar yakni dalam hal :
• Letak lokasi dari HGU adalah di Kabupaten Banyuwangi, dengan mengingat letak/lokasi tanah adalah menunjukkan identifikasi obyek yang harus benar, karenanya dengan kesalahan tersebut surat keputusan tersebut adalah cacat hukum.
• Tanah-tanah yang diberikan sebagai HGU kepada PTPN XII diatas, juga terdapat tanah-tanah secara yuridis tanah aquo telah dilepaskan sebagai hak milik kepada warga masyarakat desa Curahnongko yakni atas tanah bekas hak Erfpacht No. 4267, sebagaimana poin diatas, tanah-tanah aquo telah dilepaskan sebagai tanah hak milik kepada sekitar 116 KK, karenanya jika tanah aquo masih lagi diberikan sebagai HGU kepada PTPN XII, secara yuridis telah melekat dua jenis hak kepemilikan atas tanah pada obyek yang sama, karenanya jelas-jelas Surat keputusan aquo yang telah bertentangan dengan surat keputusan sebelumnya adalah cacat hukum.
• Berdasarkan bukti-bukti kesalahan di atas surat keputusan tersebut secara hukum telah bertentangan dengan tujuan utama adanya jaminan kepastian hukum bagi para pemegang hak, yakni mengingat surat keputusan tersebut telah tumpang tindih terhadap obyek yang telah secara hukum dibebani hak milik atas tanah sebelumnya yakni SHM No.68, 91, 92, 93, 101 atas nama para warga sejumlah sekitar 116 KK sebagaimana poin 7 diatas, karenanya surat keputusan diatas yang terbukti cacat hukum secara yuridis sah , batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1999 tentang “Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara” pada dasarnya mengatur khususnya yang menyangkut dengan permohonan aquo, sebagaimana berikut : Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi berwenang memberikan keputusan tentang permohonan pemilikan hak milik atas tanah yang berasal dari HGU. Menteri Agraria/Kepala BPN Pusat berwenang memberikan keputusan mengenai pembatalan pemberian hak atas tanah yang tidak menjadi kewenangan yang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Daerah dan Kepala Kantor Wilayah BPN, baik dikarenakan adanya cacat hukum yang ditemukan sendiri maupun berdasarkan keputusan pengadilan.

Berdasarkan Instruksi Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1/tahun 1999 tentang:Penyelesaian tunggakan pekerjaan permohonan masyarakat dibidang pertanahan yang pada dasarnya merupakan instruksi untuk: “Menyelesaikan dengan segera semua tunggakan pekerjaan permohonan masyarakat dibidang pertanahan yan diajukan sampai dengan tanggal 31 Desember 1998 paling lambat selama 3 (tiga) bulan sejak dikeluarkannya instruksi diatas.” Berdasarkan dasar serta alasan-alasan diatas, tidak ada alasan sedikitpun BPN untuk tidak membatalkan surat keputusan pemberian HGU kepada PTPN XII yang jelas-jelas terdapat adanya kesalahan yang mengakibatkan cacat hukumnya surat keputusan diatas, dan selanjutnya mengabulkan permohonan warga desa Curahnongko untuk memohon hak milik atas sebagian dari tanah bekas HGU yang cacat hukum di atas.